....SAMPURASUN BARAYA SADAYANA...
Kali ini team PARADOX SENI SUNDA akan menjelajahi saat DEBUS
menjadi salah satu budaya yang harus kita lestarikan, Penasaran? Simak
Sekilah Sejarah tentang Seni Sunda yang Menarik untuk dilihat... Hayu!
MELUNCUR........
Sejarah kesenian Debus di Kabupaten Serang dapat dikatakan masih sangat gelap karena
tidak ada sumber-sumber tertulis yang bisa menjelaskan atau mengungkapkan periode Debus
sebelum abad 19. Umumnya sumber yang ada hanya menjelaskan bahwa debus mulai ada pada
abad ke-16 atau ke-17 pada masa kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa. Periode yang mulai terang
adalah ketika masa mendekati awal kemerdekaan yaitu tahun 1938 ketika di Kabupaten Serang
berdiri kelompok seni Debus di Kecamatan Walantaka, itu pun dengan sumber sumber yang
terbatas. Hal menarik dari kesenian Debus ini adalah karena pada awalnya kesenian Debus
mempunyai fungsi sebagai penyebaran agama Islam tetapi terjadi perubahan fungsi pada masa
penjajahan Belanda yaitu pada masa pemerintahan Sultan Agung Tirtayasa seni ini digunakan untuk
membangkitkan semangat perjuangan rakyat Banten melawan penjajah. Latar belakang budaya yang
kental dan sejarah heroik rakyatnya yang terkenal gagah berani melawan penjajah Belanda
memberikan warisan warna khas keteguhan dan kegigihan masyarakat Serang dalam membangun
wilayah Serang untuk kesejahteraan dan kemakmuran bersama. Semuanya tercermin pada lambang
Kabupaten Serang yang bermottokan “Sepi Ing Pamrih, Rame Ing Gawe” yang berarti "Semangat
Selalu Bekerja Keras, Tanpa Mengharap Imbalan”.
Kesenian Debus adalah seni pertunjukan yang merupakan kombinasi dari seni tari, seni
suara, dan seni olah batin yang bernuansa magis. Secara historis kesenian Debus Banten mulai
dikenal pada abad ke17 pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Kesenian ini tumbuh dan
berkembang bersamaan dengan berkembangnya agama Islam di Banten. Pada awalnya kesenian ini
mempunyai fungsi sebagai penyebaran agama Islam. Akan tetapi pada masa penjajahan Belanda
dan pada masa pemerintahan Sultan Agung Tirtayasa, seni ini digunakan untuk membangkitkan
sema-ngat perjuangan rakyat Banten.
Dalam berbagai peristiwa di Banten yang panjang, rakyat Banten belum mengenal senjata
modern seperti pistol dan senapan. Mereka hanya menggunakan senjata tradisional seperti keris,
golok, dan bambu runcing. Untuk menghadapi berbagai peristiwa tersebut, para ulama dan tokoh
agama memberi bekal yang mendorong keberanian rakyat dan pemuda Banten untuk bertempur di
medan perang (Kartodirjo, 1984). Bekal yang diberikan bisa berupa doa-doa dan kemampuan kebal
terhadap senjata tajam.
Dalam berbagai literatur, kata Debus lebih difahami sebagai salah satu bentuk kesenian
Banten yang merupakan produk dari masuknya Islam di daerah Banten yang terus berkembang pada
masa kesultanan Banten. Debus juga dikenal sebagai suatu bentuk kesenian rakyat yang
menonjolkan kekuatan dan ketahanan fisik. Dalam penampilannya, Debus memperlihatkan dan
memperagakan kehebatan secara fisik yang ditunjukkan dengan gerakan-gerakan bela diri pencak
silat, dipadukan dengan kehebatan ilmu kebatinan atau ilmu gaib (kekebalan). Di dalam Debus ada
konsep permainan dan konsep kekebalan. Dengan demikian Debus memiliki dualisme makna yaitu
sebagai bentuk permainan dan seni. Sistem yang terdapat dalam Debus memperlihatkan kelekatan
dengan bentuk-bentuk permainan, apalagi dalam permainan Debus tidak tampak adanya suatu
makna keindahan yang selalu dikandung dalam suatu karya seni. Debus selalu menampilkan suatu
permainan yang menyeramkan tetapi mengagumkan, sesuatu yang sebenarnya ironis (Wawancara
dengan Beni Kusnandar, 27 Maret 2011).
Debus memiliki makna yang dilandasi pada latar sejarah orang Banten yang sering
berhadapan dengan peperangan atau pemberontakan melawan bangsa asing, yang tercermin dalam
watak orang Banten yang keras dan berani. Adegan-adegan menakutkan dan mengerikan yang
dipertontonkan oleh pemain Debus merupakan ekspresi perlawanan, pemberontakan, dan
keberanian melawan ketidakadilan, kesewenang-wenangan serta penjajahan. Sesuai dengan konteks
lahirnya kesenian Debus itu sendiri, sebagai salah satu bentuk perjuangan untuk mengusir penjajah
Belanda. Kesenian ini merupakan peninggalan masa lampau, yaitu abad ke-17 ketika Kesultanan
Banten tengah mengalami masa jayanya. Pada awalnya kesenian ini mempunyai fungsi sebagai
sarana penyebaran agama Islam dan terus tumbuh dan berkembang bersamaan dengan
berkembangnya agama Islam di Banten yang diperkenalkan oleh Sunan Gunung Jati, pendiri
Kesultanan Cirebon, pada tahun 1520, dalam ekspedisi damainya bersamaan dengan penaklukan
Sunda Kelapa.
Ada beberapa pendapat mengenai kata Debus ini, misalnya dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2008: 162), kata debus atau dabus bermakna sebagai suatu permainan (pertunjukan)
kekebalan terhadap senjata tajam atau api dengan menyiksa diri. Menurut Isman Pratama Nasution
dalam tesisnya “Debus, Islam dan Kiai” (1995: 38), istilah kata Debus secara garis besar
memunculkan dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa asal kata debus dari bahasa
Sunda. Menurut Tb. A. Sastrasuganda, pensiunan Kepala Seksi Kebudayaan Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Kabupaten Serang, kata Debus berasal dari kata
“tembus”. Hal ini menurutnya dikaitkan dengan alat yang digunakan untuk bermain adalah alat yang
tajam dan bila ditusukkan ke dalam tubuh bisa tembus karena tajamnya alat tersebut. Pendapat
kedua mengatakan bahwa kata Debus berasal dari bahasa Arab, yaitu dabbus yang berarti “sepotong
besi yang tajam”. Sepotong besi itu menjadi alat inti pada permainan ini, panjangnya 40 cm dengan
ujung yang runcing. Ada pula yang mengatakan bahwa kata Debus berasal dari bahasa Persia, yaitu
dabus yang berarti tusukan. Pendapat ini didasari oleh pandangan bahwa seni Debus sampai ke
Banten melalui Aceh dari Persia.
Mohamad Ali Fadilah dalam makalahnya, “Dari Magic Performance ke Tourist Attraction”
(http//wwwsahabat silat.com), menyatakan bahwa istilah Debus tidak ada kaitannya dengan kata
‘tembus’, tetapi diadopsi dari bahasa Arab, yaitu dabbus. Menurutnya setelah cukup banyak kajian
tentang Debus seharusnya tidak perlu lagi membuat kekeliruan dalam merumuskan terminologi
Debus, karena kesalahan menjelaskan istilah dapat menimbulkan persepsi yang salah pula tentang
Debus. Penamaan dabbus, yang kemudian berubah menjadi Debus atau gedebus dalam tradisi lisan
Banten, lebih mengacu pada elemen utama, yaitu sejenis ‘demonstrasi’ menancapkan besi berkepala
kayu dengan bantuan alat pukul (gada). Kalau kemudian digunakan elemen besi lain seperti golok,
pisau atau tusukan besi berukuran kecil, atraksi itu merupakan kreasi baru. Pada umumnya
pertunjukan Debus selalu dilihat sebagai tiga aksi, pertama, aksi melagukan beluk sebagai formula
zikir, kedua melakukan tarian mistis, dan ketiga, aksi menusuk, membacok, dan mengiris bagian
tubuh manusia dengan benda tajam baik dengan alat Debus, golok atau pun pisau.
Dari bukti yang ditemukan bahwa seni ini tumbuh dan berkembang di pesisir pantai dan
daerah-daerah tempat penyebaran agama Islam seperti Aceh, Bugis Makasar, Sumatra Barat, dan
Banten. Tetapi ternyata jenis kesenian ini di setiap daerah tempatnya berkembang memiliki
perbedaan-perbedaan baik istilah, teknik penyajian, musik pengiring, dan model penyajiannya.
Kemungkinan besar perbedaan itu dipengaruhi oleh adat istiadat masing-masing daerah.
Di Aceh permainan jenis ini dinamai Rapa’i, disebut juga daboih atau meudaboih, dan jarum
tusuknya disebut daboih. Di Sumatra Barat permainan jenis ini disebut badabuih atau dabuih, yang
berarti jarum tusuk. Sementara di daerah Bugis, Makasar jenis permainan ini dikenal dengan nama
daboso (Purnama, 1998: 40). Pada masa Panembahan Maulana Hasanuddin pada abad ke-16
(15321570), Debus digunakan sebagai seni untuk memikat masyarakat Banten yang masih memeluk
agama Hindu dan Budha dalam rangka penyebaran agama Islam. Kemudian, ketika kekuasaan
Banten dipegang oleh Sultan Ageng Tirtayasa pada abad ke-17 (1651-1682), Debus difokuskan
sebagai alat untuk membangkitkan semangat para pejuang dalam melawan penjajah Belanda. Raja
Banten ke-5 yang gemar kesenian dan kebatinan ini telah berhasil meningkatkan semangat tempur
angkatan perangnya melalui permainan Debus dan silat.
Wilayah Banten dalam kurun waktu yang lama merupakan wilayah yang tidak pernah lepas
dari proses yang diwarnai dengan ketegangan dan konflik sebagai akibat bertemunya dua atau
bahkan lebih pihak yang bertentangan untuk kepentingan yang berbeda. Kedatangan Islam dan
bangsa asing ke Banten menimbulkan interaksi yang mengakibatkan timbulnya ketegangan antara
penduduk setempat dengan pendatang. Ketika itu rakyat Banten belum banyak mengenal senjata
modern, seperti pistol dan senapan. Mereka hanya menggunakan senjata tradisional seperti keris,
golok, dan bambu runcing, sehingga kekuatan sangat tidak berimbang karena Belanda mempunyai
senjata yang sangat lengkap dan canggih pada saat itu. Karenanya, para ulama dan tokoh agama
berupaya dengan memberi ‘bekal’ yang bisa menumbuhkan keberanian rakyat dan pemuda Banten
untuk melawan penjajah dan selalu siap untuk bertempur. Bekal yang diberikan adalah berupa
doadoa, semangat juang, dan kemampuan kebal terhadap senjata tajam. Satu-satunya senjata yang
dimiliki oleh rakyat Banten sebagai warisan leluhur adalah seni beladiri Debus yang kini lebih dikenal
sebagai suatu kesenian tradisional. Mereka melakukan perlawanan secara gerilya.
Atraksi-atraksi kekebalan badan merupakan variasi lain yang ada di pertunjukan Debus,
antara lain menusuk perut dengan benda tajam atau tombak, mengiris tubuh sampai terluka
maupun tanpa luka, makan bara api, memasukkan jarum yang panjang ke lidah, kulit, pipi sampai
tembus dan tidak terluka. Mengiris anggota tubuh sampai terluka dan mengeluarkan darah, tetapi
dapat disembuhkan seketika itu juga, menyiram tubuh dengan air keras sampai pakaian yang
melekat di badan hancur, mengunyah beling/serpihan kaca, membakar tubuh, dan masih banyak lagi
atraksi yang mereka lakukan. Dalam atraksi ini setiap pemain mempunyai syarat-syarat yang berat.
Sebelum pentas mereka melakukan ritual-ritual yang diberikan oleh guru mereka. Biasanya
dilakukan 1-2 minggu sebelum ritual dilakukan. Selain itu mereka juga dituntut mempunyai iman
yang kuat dan harus yakin dengan ajaran Islam. Pantangan bagi pemain Debus adalah tidak boleh
minum-minuman keras, main judi, bermain wanita, atau mencuri. Pemain juga harus yakin dan tidak
ragu-ragu dalam melaksanakan tindakan tersebut. Pelanggaran yang dilakukan oleh seorang pemain
bisa sangat membahayakan jiwa pemain tersebut.
Seni permainan Debus tumbuh dan berkembang di beberapa tempat di Kabupaten Serang,
terutama di Cikande, Ciruas, Cikeusal, dan Baros. Dulu sebelum Kecamatan Walantaka masuk ke
wilayah Kota Serang, Walantaka merupakan tempat primadona seni Debus di Kabupaten Serang.
Ternyata di beberapa tempat di Kabupaten Serang seni Debus ini memiliki perbedaan antara satu
tempat dengan tempat lainnya meskipun tidak mencolok. Debus Cikande berbeda dengan Debus
Walantaka atau Ciruas. Perbedaan kecil itu misalnya dalam pertunjukan Debus Walantaka, sebelum
pertunjukan dimulai mereka terlebih dahulu melakukan ritual magis. Para pemain Debus terlebih
dahulu bersalaman dengan pemimpinnya yang disebut Syekh Debus, kemudian meminum seteguk
air yang sudah diberkahi melalui mantra. Debus Ciruas agak berbeda ketika memulai
pertunjukannya. Di saat permainan mulai berjalan, Syekh Debus akan nampak acuh tak acuh seakan
tidak perduli kepada pemainnya. Ia hanya duduk di atas tikar dengan memalingkan wajahnya dari
para pemain seakan-akan permainan tersebut tidak menarik, padahal ia sedang membaca
mantramantra. Hal yang berbeda juga terjadi pada Debus Cikande. Syekh Debus
Cikande akan melakukan ritual sekitar 50 menit. Terlebih dahulu ia akan membedaki paku debus,
memukulnya, lalu meletakkan bunga kamboja di antara rantai kecil dan hulu kayu Debus.
Penulis : RIZKY AJI PUTRA YANUAR
NIM : 18123085
Sumber : Euis Thresnawaty. S, 2012, PATANJALA, vol. 4 No.1, http://ejurnalpatanjala. kemdikbud.go.id/patanjala/ index.php/patanjala/article/ view/126 , tanggal akses 31 Mei 2019
Nah Sekilas Tentang Seni Sunda Yang Menarik ini, Terima Kasih Telah Mampir Di Blog Kami,
Tunggu Update Selanjutnya ya BARAYA, Baca Terus Blog Blog Yang lainnya Karena Begitu Kaya Kesenian Dari Tanah Sunda Ini... Semoga Bermanfaat BARAYA SUNDA.😀
Tunggu Update Selanjutnya ya BARAYA, Baca Terus Blog Blog Yang lainnya Karena Begitu Kaya Kesenian Dari Tanah Sunda Ini... Semoga Bermanfaat BARAYA SUNDA.😀
Tidak ada komentar:
Posting Komentar