Kamis, 06 Juni 2019

KESENIAN dan BELADIRI CIMANDE

....SAMPURASUN BARAYA SADAYANA...
        Kali ini team PARADOX SENI SUNDA akan menjelajahi saat Cimande menjadi salah satu budaya yang harus kita lestarikan, Penasaran? Simak Sekilah Sejarah tentang Seni Sunda yang Menarik untuk dilihat... Hayu! MELUNCUR........



Menurut O’ong Maryono, dalam bukunya yang berjudul “Pencak Silat Merentang Waktu”, dijelaskan bahwa Pencak silat merupakan hasil budi dan akal manusia, lahir dari sebuah proses perenungan, pembelajaran dan pengamatan. Sebagai tata gerak, pencak silat dapat disamakan dengan tarian sehingga di dalamnya terdapat unsur keindahan. Bahkan pencak silat lebih kompleks, karena dalam tata geraknya terkandung unsur-unsur pembelaan diri yang tidak ada dalam tarian. Sebagai hasil budaya, pencak silat sangat kental dengan nilai dan norma yang hidup dan berlaku di masyarakat. Hal ini sebagaimana yang diutarakan oleh Abdus Sjukur, yang merupakan tokoh dari perguruan pencak silat Bawean dalam Maryono bahwa “Pencak adalah gerakan langkah keindahan dengan menghindar yang disertakan gerakan berunsur komedi. Pencak dapat dipertotonkan sebagai sarana hiburan. Silat adalah unsur teknik beladiri menangkis, menyerang dan yang tidak dapat diperagakan di depan umum”.
Di tanah Sunda sendiri ada aliran pencak silat yang dipercaya sebagai salah satu aliran pencak silat tertua di Nusantara. Yaitu Penca Cimande yang berasal dari Kabupaten Bogor, tepatnya di Desa Cimande, Kampung Tarikolot. Menurut Ki Didih Supriadi,  yang merupakan pendekar silat Cimande, para sesepuh dan Guru Besar silat Cimande di Tarikolot sepakat bahwa penemu dan pencipta aliran silat Cimande adalah eyang Kaher. BerdasarkanBerdasarkan hasil wawancara dengan narasumber yang merupakan sesepuh Pencak Silat aliran Cimande, pada abad XVII eyang Kaher yang berprofesi sebagai petani ini menciptakan suatu beladiri yang dikenal dengan Pencak Silat aliran Cimande yang menjadi sebuah budaya terwariskan sampai saat ini, dan tersebar ke seluruh dunia. Terbentuknya sebuah aliran silat ini dinamakan Pencak Silat aliran Cimande yang diambil dari nama tempat eyang Kaher tinggal yaitu Desa Cimande yang mengacu pada sebuah sungai yang bernama sungai Cimande.3 Pencak silat, di samping sebagai olahraga, juga merupakan olah kanuragan yang digunakan untuk meningkatkan kualitas fisik sekaligus psikis. Tidak jarang olah kanuragan ini juga dipakai sebagai sarana pendakian spiritualitas. Tidak semua aliran dan perguruan pencak silat memiliki dan mengajarkan pencak silat dengan pembelajaran mental secara spiritual demi menjunjung tinggi nilai–nilai luhur yang ada. Tujuan pembelajaran mental spiritual dari masing-masing aliran dan perguruan silat sangat beragam. Karena setiap aliran dan perguruan silat memiliki ajaran filosofi beladirinya sendiri. Demikian pula dengan Pencak Silat aliran Cimande, pencak Cimande merupakan salah satu aliran silat yang memiliki ajaran secara mental spiritual, dan diajarkan pada setiap pesilatnya demi mengamalkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur yang diwariskan para leluhurnya.
Adapun yang dimaksud adalah Taleq (Taleq berasal dari Bahasa Sunda yang berarti kesanggupan untuk memenuhi, dalam kata lain sumpah. Maknanya sendiri untuk Taleq Cimande adalah pernyataan sebagai kesanggupan bagi para murid yang akan menuntut ilmu Silat Cimande melaksanakan aturan (kode etik) tersebut sebelum mendapat pelajaran silat lebih lanjut.), ini merupakan kode etik yang harus ditaati dan oleh semua pesilat dan perguruan Cimande dengan sebaik baiknya. Didalam Taleq Cimande terkandung nilai–nilai agung kemanusiaan, keluhuran budi pekerti, dan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Isi dari 14 Taleq Cimande adalah sebagai berikut:
1. Harus taat dan taqwa kepada Allah dan Rasulnya.
2. Jangan melawan kepada Ibu dan Bapak.
3. Jangan melawan kepada Guru dan Ratu (pemerintah).
4. Jangan berjudi dan mencuri.
5. Jangan ria, takabur, dan sombong.
6. Jangan berbuat zinah.
7. Jangan bohong dan licik.
8. Jangan mabuk-mabukkan dan menghisap madat.
9. Jangan jahil menganiaya sesama makhluk Allah.
10. Jangan memetik tanpa izin, mengambil tanpa meminta.
11. Jangan suka iri hati.
12. Jangan suka tidak membayar hutang.
13. Harus sopan santun rendah hati, ramah tamah, dan saling menghargai
sesama manusia.
14. Berguru Silat Cimande bukan untuk menggagahkan diri dan ugal-ugalan
tetapi untuk mencari keselamatan dunia dan akhirat.

Seluruh pataleqan tersebut dibentengi oleh satu taleq pamungkas, menurut Yudhawinata, yaitu Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya bagi yang beragama Islam. Sedangkan bagi yang memeluk agama lain dianjurkan menjalankan dengan baik ajaran agama yang dianutnya. Proses pataleqan ini dirangkaikan dengan suatu acara ritual yang biasa disebut dengan peureuh. Peureuh ini adalah meneteskan air menggunakan daun sirih ke dalam mata calon murid oleh Guru. Proses peureuh ini menyimbolkan komitmen seorang calon murid untuk tetap setia memegang teguh nilai–nilai luhur yang terkandung dalam Taleq Cimande dan tanda diakuinya seseorang secara adat sebagai anak murid Cimande.

Sebagai sebuah tradisi dan budaya, Pencak Silat aliran Cimande ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah orang-orang Bogor dan sekitarnya. Terus melekat dalam sejarah perkembangan daerah ini hingga menjadi kebanggaan tersendiri. Tidak banyak tradisi yang bisa bertahan dan terus melekati orang-orang yang hidup di dalamnya. Meski banyak varian dari aliran silat Cimande masa kini, namun bagi kebanyakan orang akan langsung tertuju pada Pencak Silat aliran Cimande. Seakan sudah menjadi nama generik bagi pesilat secara keseluruhan hingga mengaburkan pencak silat aliran Cimande yang lain.



Penulis :  RIZKY AJI PUTRA YANUAR
NIM : 18123085
Sumber :

Nah Sekilas Tentang Seni Sunda Yang Menarik ini, Terima Kasih Telah Mampir Di Blog Kami,
Tunggu Update Selanjutnya ya BARAYA, Baca Terus Blog Blog Yang lainnya Karena Begitu Kaya Kesenian Dari Tanah Sunda Ini... Semoga Bermanfaat BARAYA SUNDA.😀

KESENIAN TRADISIONAL RENGKONG

....SAMPURASUN BARAYA SADAYANA...
        Kali ini team PARADOX SENI SUNDA akan menjelajahi saat RENGKONG menjadi salah satu budaya yang harus kita lestarikan, Penasaran? Simak Sekilah Sejarah tentang Seni Sunda yang Menarik untuk dilihat... Hayu! MELUNCUR........

Hasil gambar untuk rengkong 
Asal-usul
Cianjur adalah salah satu kabupaten yang secara administratif termasuk dalam KAB.CIANJUR,
Masyarakatnya sebagian besar beragama Islam dan pada umumnya menggantungkan hidupnya dari bercocok tanam. Di daerah ini, tepatnya di Kampung Kandangsapi, Desa Cisarandi, Kecamatan Warungkondang ada sebuah kesenian tradisional yang bernama “rengkong”. Asal-usul kesenian ini bermula dari pemindahan padi huma (ladang) ke saung (lumbung padi). Masyarakat Jawa Barat pada umumnya, termasuk masyarakat Warungkondang (Cianjur), di masa lalu --sebelum mengenal bercocok tanam padi di sawah (sistem irigarasi)-- pada umumnya adalah sebagai peladang (ngahuma) yang berpindah-pindah. Padi ladang yang telah dituai tentunya tidak dibiarkan di ladang, tetapi mesti dibawa pulang. Mengingat bahwa jarak antara areal ladang dan pemukiman (rumah peladang) relatif jauh, maka diperlukan suatu alat untuk membawanya, yaitu pikulan yang terbuat dari bambu. Mereka menyebutnya sebagai “awi gombong”. Pikulan yang diberi beban padi kurang lebih 25 kilogram yang diikat dengan injuk kawung (tali ijuk) ini jika dibawa akan menimbulkan suara atau bunyi yang dihasilkan dari gesekan antara tali ijuk dan batang pikulan itu sendiri. Dan, bunyi yang dihasilkan menyerupai suara burung rangkong (sejenis angsa). Oleh karena itu, ketika bunyi yang dihasilkan dari gesekan antara tali ijuk dan pikulan dikembangkan menjadi sebuah jenis kesenian disebut “rengkong”.
Konon, kesenian rengkong ini dikenal oleh masyarakat Warungkondang, khususnya masyarakat Kampung Sukaratu, Desa Cisarandi, sejak akhir abad ke-19. Adupan orang memperkenalkan dan atau mengembangkannya adalah Said (almarhum). Di kampung lain (Sukaratu) dikembangkan oleh seorang pengusaha genteng (1920--1967). Jadi, beban yang semula berupa padi diganti dengan genteng. Sedangkan, di Kampung Kandangsapi dikembangkan oleh Sopian sejak tahun 1967.
Peralatan
Peralatan yang diperlukan untuk mewujudkan kesenian yang disebut sebagai rengkong ini adalah peralatan yang menghasilkan bunyi rengkong itu sendiri dengan berbagai ukuran (ada yang besar dan kecil). Peralatan itu terdiri dan atau terbuat dari pikulan, tambang ijuk, padi, dan minyak tanah. Pikulan terbuat dari dari sebatang awi gombong (bambu gombong) yang tipis dengan panjang 2 atau 2,5 meter. Ujung yang satu dan lainnya terbuka (tidak tertutup oleh ruas bambu). Kemudian, kurang lebih 30 centimeter dari ujung-ujungnya dilubangi (menyerupai kentongan) sepanjang kurang lebih 38 centimeter. Tambang ijuk yang panjangnya 2 sampai 2,5 meter berfungsi sebagai pengikat padi padi yang akan digantungkan pada sebatang awi gombong yang berfungsi sebagai pikulan. Kemudian, padi yang beratnya 20—25 kilogram sebagai beban pikulan. Lebih dari itu dikhawatirkan pikulan akan patah. Dan, minyak tanah berfungsi sebagai pengesat gesekan antara tali dan pikulan, sehingga gesekan menghasilkan bunyi yang nyaring. Peralatan lainnya adalah dodog dan angkung buncis.
Pemain dan Busana
Jumlah pemain rengkong secara keseluruhan ada 14 orang dengan rincian: 2 orang sebagai pembawa rengkong besar; 3 orang sebagai pembawa rengkong kecil; 4 orang sebagai pemain dodog, yaitu dodog: tingrit, tongsong, brung-brung, dan gedeblag; dan pemain angklung buncis yang terdiri atas 5 orang. Sedangkan, busana atau pakaian yang dikenakan adalah pakaian tradisional yang berupa: kampret atau pangsi, ikat kepala, dan sarung.
Pementasan
Kesenian rengkong yang ada di Warungkondang ini biasanya hanya dipentaskan dalam rangka memeriahkan hari-hari besar agama dan atau nasional (17 Agustusan) dalam bentuk arak-arakan. Dalam sebuah pementasan biasanya pemain rengkong yang berjumlah 5 orang berada di barisan depan. Kemudian, diikuti oleh para pemain angklung buncis dan para pemain dodog. Namun demikian, adakalanya pementasan dikemas secara kolektif. Artinya, para pemain boleh bergerak kemana saja (bercampur jadi satu).
Fungsi
Ketika rengkong belum dikembangkan menjadi sebuah jenis kesenian, ia semata-mata hanya berfungsi sebagai pengalihan perhatian dari seseorang yang membawa beban (padi) dengan cara dipikul. Dalam hal ini gesekan antara tali pikulan dan pikulan dimanfaatkan sebagai irama pengiring, sehingga beban yang relatif berat tidak begitu dirasakan karena karena diiringi oleh bunyi-bunyian yang khas. Dan, ketika rengkong menjadi sebuah jenis kesenian fungsinya juga tidak jauh berbeda, yaitu sebagai hiburan.
Sebagai catatan, kesenian yang disebut sebagai rengkong ini tidak hanya ada di daerah Cianjunr semata, tetapi juga di daerah Sukabumi dan Banten. Bedanya, di kedua daerah tersebut rengkong tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi ada fungsi lain yang melatarbelakanginya, yaitu ungkapan terima kasih kepada Dewi padi yang telah memberikan kesejahteraan berupa panen yang melimpah. Oleh karena itu, rengkong selalu ditampilkan dan kegiatan atau upacara penyimpanan padi ke lumbung.
Nilai Budaya
Kesenian adalah ekspresi jiwa manusia yang terwujud dalam keindahan. Oleh karena itu, kesenian apapun termasuk kesenian rengkong yang didukung dengan peralatan sederhana, mengandung nilai estetika (keindahan). Namun demikian, jika dikaji secara teliti kesenian yang disebut sebagai rengkong ini tidak hanya mengandung nilai estetika saja, tetapi ada nilai-nilai lainnya yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai itu antara lain adalah kerja keras dan kerjasama. Nilai kerja keras tercermin dalam membunyikan suara khas yang dihasilkan dari gesekan antara tali ijuk dan pikulan. Ini artinya, padi dengan berat tertentu dipikul. Dan, ini tentunya memerlukan kerja keras. Kemudian, nilai kerja sama tercermin dalam pementasan. Dalam hal ini tanpa kerja sama yang baik mustahil pementasan dapat berjalan dengan baik dan lancar. Malahan, ada nilai lainnya (religius) sebagaimana yang ditunjukkan oleh masyarakat Sukabumi dan Banten. (gufron)
 Penulis : SAEPUL HADID AKBAR
 NIM     : 18123053
Sumber : https://uun-halimah.blogspot.com/2008/06/rengkong-kesenian-tradisional.html 

Nah Sekilas Tentang Seni Sunda Yang Menarik ini, Terima Kasih Telah Mampir Di Blog Kami,
Tunggu Update Selanjutnya ya BARAYA, Baca Terus Blog Blog Yang lainnya Karena Begitu Kaya Kesenian Dari Tanah Sunda Ini... Semoga Bermanfaat BARAYA SUNDA.😀

KESENIAN TRADISIONAL DEBUS

....SAMPURASUN BARAYA SADAYANA...
        Kali ini team PARADOX SENI SUNDA akan menjelajahi saat DEBUS menjadi salah satu budaya yang harus kita lestarikan, Penasaran? Simak Sekilah Sejarah tentang Seni Sunda yang Menarik untuk dilihat... Hayu! MELUNCUR........



Sejarah kesenian Debus di Kabupaten Serang dapat dikatakan masih sangat gelap karena
tidak ada sumber-sumber tertulis yang bisa menjelaskan atau mengungkapkan periode Debus
sebelum abad 19. Umumnya sumber yang ada hanya menjelaskan bahwa debus mulai ada pada
abad ke-16 atau ke-17 pada masa kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa. Periode yang mulai terang
adalah ketika masa mendekati awal kemerdekaan yaitu tahun 1938 ketika di Kabupaten Serang
berdiri kelompok seni Debus di Kecamatan Walantaka, itu pun dengan sumber sumber yang
terbatas. Hal menarik dari kesenian Debus ini adalah karena pada awalnya kesenian Debus
mempunyai fungsi sebagai penyebaran agama Islam tetapi terjadi perubahan fungsi pada masa
penjajahan Belanda yaitu pada masa pemerintahan Sultan Agung Tirtayasa seni ini digunakan untuk
membangkitkan semangat perjuangan rakyat Banten melawan penjajah. Latar belakang budaya yang
kental dan sejarah heroik rakyatnya yang terkenal gagah berani melawan penjajah Belanda
memberikan warisan warna khas keteguhan dan kegigihan masyarakat Serang dalam membangun
wilayah Serang untuk kesejahteraan dan kemakmuran bersama. Semuanya tercermin pada lambang
Kabupaten Serang yang bermottokan “Sepi Ing Pamrih, Rame Ing Gawe” yang berarti "Semangat
Selalu Bekerja Keras, Tanpa Mengharap Imbalan”.
Kesenian Debus adalah seni pertunjukan yang merupakan kombinasi dari seni tari, seni
suara, dan seni olah batin yang bernuansa magis. Secara historis kesenian Debus Banten mulai
dikenal pada abad ke17 pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Kesenian ini tumbuh dan
berkembang bersamaan dengan berkembangnya agama Islam di Banten. Pada awalnya kesenian ini
mempunyai fungsi sebagai penyebaran agama Islam. Akan tetapi pada masa penjajahan Belanda
dan pada masa pemerintahan Sultan Agung Tirtayasa, seni ini digunakan untuk membangkitkan
sema-ngat perjuangan rakyat Banten.
Dalam berbagai peristiwa di Banten yang panjang, rakyat Banten belum mengenal senjata
modern seperti pistol dan senapan. Mereka hanya menggunakan senjata tradisional seperti keris,
golok, dan bambu runcing. Untuk menghadapi berbagai peristiwa tersebut, para ulama dan tokoh
agama memberi bekal yang mendorong keberanian rakyat dan pemuda Banten untuk bertempur di
medan perang (Kartodirjo, 1984). Bekal yang diberikan bisa berupa doa-doa dan kemampuan kebal
terhadap senjata tajam.
Dalam berbagai literatur, kata Debus lebih difahami sebagai salah satu bentuk kesenian
Banten yang merupakan produk dari masuknya Islam di daerah Banten yang terus berkembang pada
masa kesultanan Banten. Debus juga dikenal sebagai suatu bentuk kesenian rakyat yang
menonjolkan kekuatan dan ketahanan fisik. Dalam penampilannya, Debus memperlihatkan dan
memperagakan kehebatan secara fisik yang ditunjukkan dengan gerakan-gerakan bela diri pencak
silat, dipadukan dengan kehebatan ilmu kebatinan atau ilmu gaib (kekebalan). Di dalam Debus ada
konsep permainan dan konsep kekebalan. Dengan demikian Debus memiliki dualisme makna yaitu
sebagai bentuk permainan dan seni. Sistem yang terdapat dalam Debus memperlihatkan kelekatan
dengan bentuk-bentuk permainan, apalagi dalam permainan Debus tidak tampak adanya suatu
makna keindahan yang selalu dikandung dalam suatu karya seni. Debus selalu menampilkan suatu
permainan yang menyeramkan tetapi mengagumkan, sesuatu yang sebenarnya ironis (Wawancara
dengan Beni Kusnandar, 27 Maret 2011).
Debus memiliki makna yang dilandasi pada latar sejarah orang Banten yang sering
berhadapan dengan peperangan atau pemberontakan melawan bangsa asing, yang tercermin dalam
watak orang Banten yang keras dan berani. Adegan-adegan menakutkan dan mengerikan yang
dipertontonkan oleh pemain Debus merupakan ekspresi perlawanan, pemberontakan, dan
keberanian melawan ketidakadilan, kesewenang-wenangan serta penjajahan. Sesuai dengan konteks
lahirnya kesenian Debus itu sendiri, sebagai salah satu bentuk perjuangan untuk mengusir penjajah

Belanda. Kesenian ini merupakan peninggalan masa lampau, yaitu abad ke-17 ketika Kesultanan
Banten tengah mengalami masa jayanya. Pada awalnya kesenian ini mempunyai fungsi sebagai
sarana penyebaran agama Islam dan terus tumbuh dan berkembang bersamaan dengan
berkembangnya agama Islam di Banten yang diperkenalkan oleh Sunan Gunung Jati, pendiri
Kesultanan Cirebon, pada tahun 1520, dalam ekspedisi damainya bersamaan dengan penaklukan
Sunda Kelapa.
Ada beberapa pendapat mengenai kata Debus ini, misalnya dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2008: 162), kata debus atau dabus bermakna sebagai suatu permainan (pertunjukan)
kekebalan terhadap senjata tajam atau api dengan menyiksa diri. Menurut Isman Pratama Nasution
dalam tesisnya “Debus, Islam dan Kiai” (1995: 38), istilah kata Debus secara garis besar
memunculkan dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa asal kata debus dari bahasa
Sunda. Menurut Tb. A. Sastrasuganda, pensiunan Kepala Seksi Kebudayaan Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Kabupaten Serang, kata Debus berasal dari kata
“tembus”. Hal ini menurutnya dikaitkan dengan alat yang digunakan untuk bermain adalah alat yang
tajam dan bila ditusukkan ke dalam tubuh bisa tembus karena tajamnya alat tersebut. Pendapat
kedua mengatakan bahwa kata Debus berasal dari bahasa Arab, yaitu dabbus yang berarti “sepotong
besi yang tajam”. Sepotong besi itu menjadi alat inti pada permainan ini, panjangnya 40 cm dengan
ujung yang runcing. Ada pula yang mengatakan bahwa kata Debus berasal dari bahasa Persia, yaitu
dabus yang berarti tusukan. Pendapat ini didasari oleh pandangan bahwa seni Debus sampai ke
Banten melalui Aceh dari Persia.
Mohamad Ali Fadilah dalam makalahnya, “Dari Magic Performance ke Tourist Attraction”
(http//wwwsahabat silat.com), menyatakan bahwa istilah Debus tidak ada kaitannya dengan kata
‘tembus’, tetapi diadopsi dari bahasa Arab, yaitu dabbus. Menurutnya setelah cukup banyak kajian
tentang Debus seharusnya tidak perlu lagi membuat kekeliruan dalam merumuskan terminologi
Debus, karena kesalahan menjelaskan istilah dapat menimbulkan persepsi yang salah pula tentang
Debus. Penamaan dabbus, yang kemudian berubah menjadi Debus atau gedebus dalam tradisi lisan
Banten, lebih mengacu pada elemen utama, yaitu sejenis ‘demonstrasi’ menancapkan besi berkepala
kayu dengan bantuan alat pukul (gada). Kalau kemudian digunakan elemen besi lain seperti golok,
pisau atau tusukan besi berukuran kecil, atraksi itu merupakan kreasi baru. Pada umumnya
pertunjukan Debus selalu dilihat sebagai tiga aksi, pertama, aksi melagukan beluk sebagai formula
zikir, kedua melakukan tarian mistis, dan ketiga, aksi menusuk, membacok, dan mengiris bagian
tubuh manusia dengan benda tajam baik dengan alat Debus, golok atau pun pisau.
Dari bukti yang ditemukan bahwa seni ini tumbuh dan berkembang di pesisir pantai dan
daerah-daerah tempat penyebaran agama Islam seperti Aceh, Bugis Makasar, Sumatra Barat, dan
Banten. Tetapi ternyata jenis kesenian ini di setiap daerah tempatnya berkembang memiliki
perbedaan-perbedaan baik istilah, teknik penyajian, musik pengiring, dan model penyajiannya.
Kemungkinan besar perbedaan itu dipengaruhi oleh adat istiadat masing-masing daerah.
Di Aceh permainan jenis ini dinamai Rapa’i, disebut juga daboih atau meudaboih, dan jarum
tusuknya disebut daboih. Di Sumatra Barat permainan jenis ini disebut badabuih atau dabuih, yang
berarti jarum tusuk. Sementara di daerah Bugis, Makasar jenis permainan ini dikenal dengan nama
daboso (Purnama, 1998: 40). Pada masa Panembahan Maulana Hasanuddin pada abad ke-16
(15321570), Debus digunakan sebagai seni untuk memikat masyarakat Banten yang masih memeluk
agama Hindu dan Budha dalam rangka penyebaran agama Islam. Kemudian, ketika kekuasaan
Banten dipegang oleh Sultan Ageng Tirtayasa pada abad ke-17 (1651-1682), Debus difokuskan
sebagai alat untuk membangkitkan semangat para pejuang dalam melawan penjajah Belanda. Raja

Banten ke-5 yang gemar kesenian dan kebatinan ini telah berhasil meningkatkan semangat tempur
angkatan perangnya melalui permainan Debus dan silat.
Wilayah Banten dalam kurun waktu yang lama merupakan wilayah yang tidak pernah lepas
dari proses yang diwarnai dengan ketegangan dan konflik sebagai akibat bertemunya dua atau
bahkan lebih pihak yang bertentangan untuk kepentingan yang berbeda. Kedatangan Islam dan
bangsa asing ke Banten menimbulkan interaksi yang mengakibatkan timbulnya ketegangan antara
penduduk setempat dengan pendatang. Ketika itu rakyat Banten belum banyak mengenal senjata
modern, seperti pistol dan senapan. Mereka hanya menggunakan senjata tradisional seperti keris,
golok, dan bambu runcing, sehingga kekuatan sangat tidak berimbang karena Belanda mempunyai
senjata yang sangat lengkap dan canggih pada saat itu. Karenanya, para ulama dan tokoh agama
berupaya dengan memberi ‘bekal’ yang bisa menumbuhkan keberanian rakyat dan pemuda Banten
untuk melawan penjajah dan selalu siap untuk bertempur. Bekal yang diberikan adalah berupa
doadoa, semangat juang, dan kemampuan kebal terhadap senjata tajam. Satu-satunya senjata yang
dimiliki oleh rakyat Banten sebagai warisan leluhur adalah seni beladiri Debus yang kini lebih dikenal
sebagai suatu kesenian tradisional. Mereka melakukan perlawanan secara gerilya.
Atraksi-atraksi kekebalan badan merupakan variasi lain yang ada di pertunjukan Debus,
antara lain menusuk perut dengan benda tajam atau tombak, mengiris tubuh sampai terluka
maupun tanpa luka, makan bara api, memasukkan jarum yang panjang ke lidah, kulit, pipi sampai
tembus dan tidak terluka. Mengiris anggota tubuh sampai terluka dan mengeluarkan darah, tetapi
dapat disembuhkan seketika itu juga, menyiram tubuh dengan air keras sampai pakaian yang
melekat di badan hancur, mengunyah beling/serpihan kaca, membakar tubuh, dan masih banyak lagi
atraksi yang mereka lakukan. Dalam atraksi ini setiap pemain mempunyai syarat-syarat yang berat.
Sebelum pentas mereka melakukan ritual-ritual yang diberikan oleh guru mereka. Biasanya
dilakukan 1-2 minggu sebelum ritual dilakukan. Selain itu mereka juga dituntut mempunyai iman
yang kuat dan harus yakin dengan ajaran Islam. Pantangan bagi pemain Debus adalah tidak boleh
minum-minuman keras, main judi, bermain wanita, atau mencuri. Pemain juga harus yakin dan tidak
ragu-ragu dalam melaksanakan tindakan tersebut. Pelanggaran yang dilakukan oleh seorang pemain
bisa sangat membahayakan jiwa pemain tersebut.
Seni permainan Debus tumbuh dan berkembang di beberapa tempat di Kabupaten Serang,
terutama di Cikande, Ciruas, Cikeusal, dan Baros. Dulu sebelum Kecamatan Walantaka masuk ke
wilayah Kota Serang, Walantaka merupakan tempat primadona seni Debus di Kabupaten Serang.
Ternyata di beberapa tempat di Kabupaten Serang seni Debus ini memiliki perbedaan antara satu
tempat dengan tempat lainnya meskipun tidak mencolok. Debus Cikande berbeda dengan Debus
Walantaka atau Ciruas. Perbedaan kecil itu misalnya dalam pertunjukan Debus Walantaka, sebelum
pertunjukan dimulai mereka terlebih dahulu melakukan ritual magis. Para pemain Debus terlebih
dahulu bersalaman dengan pemimpinnya yang disebut Syekh Debus, kemudian meminum seteguk
air yang sudah diberkahi melalui mantra. Debus Ciruas agak berbeda ketika memulai
pertunjukannya. Di saat permainan mulai berjalan, Syekh Debus akan nampak acuh tak acuh seakan
tidak perduli kepada pemainnya. Ia hanya duduk di atas tikar dengan memalingkan wajahnya dari
para pemain seakan-akan permainan tersebut tidak menarik, padahal ia sedang membaca
mantramantra. Hal yang berbeda juga terjadi pada Debus Cikande. Syekh Debus
Cikande akan melakukan ritual sekitar 50 menit. Terlebih dahulu ia akan membedaki paku debus,
memukulnya, lalu meletakkan bunga kamboja di antara rantai kecil dan hulu kayu Debus.
Penulis :  RIZKY AJI PUTRA YANUAR
NIM : 18123085
Sumber : Euis  Thresnawaty. S, 2012, PATANJALA, vol. 4 No.1, http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/view/126 , tanggal akses 31 Mei 2019

Nah Sekilas Tentang Seni Sunda Yang Menarik ini, Terima Kasih Telah Mampir Di Blog Kami,
Tunggu Update Selanjutnya ya BARAYA, Baca Terus Blog Blog Yang lainnya Karena Begitu Kaya Kesenian Dari Tanah Sunda Ini... Semoga Bermanfaat BARAYA SUNDA.😀


KESENIAN DAN BELADIRI KHAS CIANJUR


 ....SAMPURASUN BARAYA SADAYANA...
        Kali ini team PARADOX SENI SUNDA akan menjelajahi saat KESENIAN DAN BELADIRI BERSATU menjadi salah satu budaya yang harus kita lestarikan, Penasaran? Simak Sekilah Sejarah tentang Seni Sunda yang Menarik untuk dilihat... Hayu! MELUNCUR........

Hasil gambar untuk maenpo cianjuran Hasil gambar untuk maenpo cianjuran

Sejak dulu Cianjur dikenal dengan seni beladiri Pencak Silat yang menghasilkan beberapa aliran terkenal, antara lain aliran Cikalong, Cimande dan Sabandar. Yang sampai kini masih dipelajari dan diminati pencinta pencak silat oleh berbagai kalangan baik di daerah-daerah lokal maupun mancanegara.
Maenpo atau dikenal juga dengan istilah pencak silat adalah suatu kesenian beladiri yang menggambarkan keterampilan dan ketangguhan . Maenpo sendiri secara bahasa terdiri dari dua kata yaitu maen dan po. Maen berarti melakukan sesuatu sementara po berasal dari istilah China untuk memukul. Maka maenpo artinya melakukan sesuatu dengan memukul.
Pecipta dan penyebar seni maenpo ini adalah R. Djadjaperbata atau dikenal dengan nama R. H. Ibrahim. Aliran ini mempunyai ciri permainan rasa yaitu sensitivitas atau kepekaan yang mampu membaca segala gerak lawan ketika anggota badan saling bersentuhan. Dalam maenpo dikenal istilah liliwatan (pengideraan) dan Peupeuhan (pukulan). Seni peupeuhan yang merupakan aliran khas ciptaan R. H. Ibrahim, mengandalkan kecepatan gerak dan tenaga dalam yang luar biasa. Adapun R. H. Ibrahim menunggal pada tahun 1906 dan dimakamkan di pemakaman keluarga Dalem Cikundul, Cikalong Kulon Cianjur.
Pada saat yang sama muncul suatu aliran yang mengandalkan tenaga pengideraan atau liliwatan yang dimunculkan oleh Muhammad kosim dari Sabandar Karangtengah Cianjur yang kemudian beliau dikenal dengan nama Mama Sabandar. Aliran inilah yang dikemudian hari dikenal dengan sebutan Aliran Sabandar yang mengandalkan kemahiran dalam mengeluarkan tenaga penginderaan.

Kenapa Maenpo menjadi kesenian padahal itu bela diri? dikarenakan ada musik didalamnya yaitu :


Tembang Sunda cianjjuran diciptakan oleh Bupati Cianjjur RAA Kusumaningrat yang dikenal juga dengan julukan nama Kangjeng Pancaniti (1834-1864)..,

Dalam seni Tembang sunda cianjjuran ada istilah nama Mamaos yg artinya adalah membawakan sebuah lagu ... yang pada masa itu Mamaos hanya dinyanyikan oleh pria saja, dan baru pada perempat abad ke-20 Mamaos ( tembang sunda) bisa dipelajari oleh kaum wanita, dan ahirnya bermunculanlah lahir para penembang cianjjuran wanita seperti , RD Siti Sarah.., RD Anah Ruhanah.., Nyimas Saodah dsb..., dan hingga skarang di abad 21 semakin banyak lagi sperti Euis komariah.., Imas Permas.., mamah dasimah.., Neneng Dinar..dsb.

Kacapi suling cianjjuran telah menyentuh hati dari seorang Maestro Maenpo asal kota Bandung yaitu bapak Adung Rais .., untuk dijadikan sebuah pengiring dari bentuk Ibingan Maenpo...sebab menurut bapak Adung Rais kacapi suling dan Maenpo terdapat sesuatu persamaan dalam ngaleyepan (menela'ah) " Rasa" .., jadi keduanya menggunakan kekuatan Energi Rasa dalam membawakanya.., dan sebuah syair seakan mempengaruhi seorang pengibing dalam membentuk gerakan sebuah Ibingan (tarian)..., jika kita perhatikan dengan seksama maka di Takol (petikan) sebuah Jentreng..itu jelas sudah menandakan adanya sebuah ketukan yg menyeruapi kaidah dari Peupuehan..! jadi cocok sekali jika Tabeuh (main) kacapi suling cianjjuran di senyawakan dengan Garak Rasa yg terkadung pada Usik Buhun Maenpo Peupeuhan., sebab keduanya mempunya unsur kandungan Energy positif., tentunya positif untuk membentuk kepribadian kita sehingga bisa membuat kita semakin mawas diri dan berfikir yg positif...sekaligus membentuk kepribadian manusia yang seutuhnya.

Mengolah rasa melalui Cianjjuran sangat baik untuk kesehatan tubuh kita...seperti contoh dengan seringnya mendengarkan lagu cianjjuran maka fikiran kita seakan menjadi tenang dan kita tidak mudah panik ...pengaruh syairpun kadang bisa mempengaruhi emosi kita untuk mencintai Lemah cai ( tanah air ) dan selanjjutnya selalu eling (Ingat) kepada sang Maha pencipta alam semesta.

Selain bisa membentuk kepribadian yg positif...maka dengan sendirinya tubuh kitapun bisa semakin kuat dan sehat ..sebab kita selalu terbiasa dengan latihan yg displin... , jika terbiasa melatih fisik dan rasa kita dengan tekun.. maka percayalah sebuah jurus sederhanapun jika dilatih terus menerus setiap hari... tentu akan bisa menjadi "Senjata ampuh" buat kita..., apalagi dibekali dengan segudang arahan Ilmu dari sang " Guru.." sudah barang tentu akan mengahasilkan sesuatu yg bermanfaat dan posittif. 


Penulis : SAEPUL HADID AKBAR
NIM : 18123053
Sumber : https://www.dicianjur.com/maenpo-seni-beladiri-khas-cianjur.php
               http://www.silatindonesia.com/2011/02/jentreng-usik-padjadjaran/


Nah Sekilas Tentang Seni Sunda Yang Menarik ini, Terima Kasih Telah Mampir Di Blog Kami,
Tunggu Update Selanjutnya ya BARAYA, Baca Terus Blog Blog Yang lainnya Karena Begitu Kaya Kesenian Dari Tanah Sunda Ini... Semoga Bermanfaat BARAYA SUNDA.😀